Politik Uang Dalam Pemilu Legislatif

By Abi Zahidah - April 04, 2018


Oleh: Musni Umar, Ph.d
 
Pemilihan umum (pemilu) dalam era reformasi, merupakan suatu hal yang amat penting. Ia merupakan salah satu wujud dari pengamalan demokrasi. Melalui pemilu, rakyat mengamalkan persyaratan demokrasi yaitu partisipasi politik, yang merupakan hak politik rakyat yang berasal dari martabat yang melekat dalam diri manusia.
Dalam masyarakat maju, yang rata-rata memiliki pendidikan yang memadai, dengan tingkat kehidupan sosial ekonomi yang mayoritas dapat digolongkan sebagai “kelas menengah” ( middle ckass), keikutsertaan mereka dalam proses pemilu, didorong oleh kesadaran dan keyakinan bahwa sebagai warga masyarakat diharapkan kepentingannya dapat ditampung ( accommodated ) atau sekurang-kurangnya diperhatikan oleh partai politik dan pemerintah yang mereka pilih.
Akan tetapi dalam masyarakat Indonesia, yang sadar dan faham arti pemilu, masih terbatas jumlahnya.

Kalangan masyarakat bawah ( grassroots ), ikut-serta dalam proses pemilu dianggap sebagai kewajiban bukan hak. Keikut-sertaan mereka dalam pemilu, umumnya disebabkan karena dimobilisasi ( mobilized participation) dan pengaruh politik uang.
Untuk memberi gambaran proses demokrasi dalam era reformasi.

Presiden BJ. Habibie telah melakukan perubahan drastis dan mendasar di bidang politik dengan mempercepat pelaksanaan pemilu tahun 1999, yang semula diprogramkan 2002.
Pelaksanaan pemilu 1999 amat demokratis. Para pakar politik dalam dan luar negeri sering menyamakan pemilu tersebut sama dengan pemilu pertama Indonesia 1955. Walaupun begitu, akhirnya harus diakui dibalik pelaksanaannya yang demokratis, disinyalir terjadi praktik politik uang untuk memperoleh dukungan suara dari rakyat.

Politik uang tidak mudah dibuktikan secara hukum, tetapi ia dapat dirasa, sehingga menjadi alasan bagi 27 partai politik peserta pemilu 1999 untuk menolak menandatangani berita acara perhitungan suara karena dinilai pemilu 1999 belum jurdil (jujur dan adil).20 Sikap penolakan itu dikemukakan dalam sebuah rapat pleno KPU ke-27 yang dilaksanakan oleh partai-partai politik peserta yang gagal mendapat dukungan suara.
Oleh karena, hasil pemilu ditolak oleh partai-partai politik tersebut, maka untuk menyelamatkan hasil pemilu 1999, terpaksa dokumen rapat KPU diserahkan pimpinan KPU kepada Presiden BJ. Habibie, kemudian dokumen itu diserahkan kepada Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu) untuk meneliti keberatan-keberatan yang diajukan wakil-wakil partai politik di KPU yang menolak hasil pemilu. Panwaslu memberi rekomendasi bahwa pemilu 1999 sudah sah, sehingga Presiden BJ. Habibie menyatakan bahwa hasil pemilu sah. Hasil akhir pemilu 1999 diumumkan kepada masyarakat pada 26 Juli 1999.

Pemilu kedua di era Orde Refromasi dilaksanakan 2004 berdasarkan Undang-Undang No. 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum untuk memilih Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Pemilu 2004, telah berhasil dilaksanakan dengan baik, sukses dan demokratis. Hasilnya telah mengukuhkan pemerintahan demokratis sesuai prosedur dan tata cara berdasarkan UU Pemilu. Namun unsur-unsur kejujuran dan keadilan, tidak terpenuhi dalam pelaksanaannya, karena diduga keras masih terjadi praktik politik uang seperti pemilu 1999.
Partai Golkar misalnya, yang mengalami masalah berat menjelang dan pada saat kampanye pemilu 1999, karena beberapa tokoh reformasi terutama Amien Rais bertekad mengubur Partai Golkar yang dianggap ikut bertanggungjawab kehancuran bangsa Indonesia. Selama periode 1999-2004, partai Golkar dibawah kepemimpinan Ir. Akbar Tandjung melakukan proses konsolidasi dengan sangat baik. Hasilnya dalam pemilu 2004, tampil dengan penuh percaya diri, dan menghantarkannya menjadi pemenang pemilu 2004.

Politik bumi hangus yang pernah digulirkan oleh Amien Rais dalam kampanye pemilu 1999, tidak lagi diulangi dalam kampanye pemilu 2004, karena ternyata mendapat respons negatif dari masyarakat. Masyarakat tidak memberi sokongan positif terhadap politik “balas dendam”, yang mau menghancurkan lawan politik seperti Partai Golkar apalagi Pak Harto. Masyarakat menilai walaupun Golkar atau Pak Harto bersalah, tetapi banyak juga kebaikannya.

Dampak dari gerakan reformasi, banyak kader partai Golkar yang bersembunyi, mencari selamat dan tidak berani menampakkan diri sebagai kader partai Golkar. Namun, ada juga yang berani tampil dihadapan pubik dan melakukan apa saja untuk mempertahankan diri. Tokoh partai Golkar yang sangat berjasa menyelamatkan partai Golkar dari badai reformasi adalah Ir. Akbar Tandjung. Beliau mulai Jum’at sore sampai Minggu sore berkeliling ke seluruh Indonesia mengunjungi setiap daerah. Selain melakukan konsolidasi, juga memberi semangat dan harapan kepada para pengurus Golkar di daerah. Tidak lupa beliau membahagi uang kepada setiap Dewan Pengurus Daerah Golkar Kabupaten dan Kota, serta DPD Provinsi yang dikunjungi. Disamping itu, beliau berkunjung ke Masjid, Gereja, dan Pesantren yang telah ditetapkan oleh DPD Golkar setempat dan memberi sumbangan uang.

Sukses konsolidasi menghadapi pemilu, tidak berarti menghilangkan praktik politik uang ( money politics) dalam pemilu. Rupanya pemilu bagi masyarakat miskin, mesti disertai bantuan sembako dan uang. Mereka ikut kampanye, lebih didorong oleh kepentingan untuk mendapat uang makan dan transport. Itu sebabnya sangat sukar dihilangkan praktik “serangan fajar” menjelang hari pencoblosan pemilu dengan membahagi uang dan pangan (sembako) di setiap rumah orang miskin. Tujuan politik uang dalam pemilu ialah untuk memperoleh sokongan suara rakyat yang besar dalam pemilu. Dengan memperoleh sokongan suara yang besar dalam pemilu, maka partai itu akan mendapat kursi yang banyak di legislatif (DPR/DPRD), sehingga dapat memainkan peranan penting di legislatif.

Partai Golkar selama era Orde Reformasi, sekalipun perolehan suaranya merosot bersamaan dengan banyaknya partai politik, tetapi selama dua kali pemilu terus memperoleh sokongan suara yang besar. Oleh karena itu, para anggota legislatif dari partai Golkar berhasil meredam hantaman badai reformasi dari para penggiat gerakan reformasi yang menuntut pembubaran partai Golkar, dengan memberi tekanan politik kepada pemerintah untuk meredam gerakan anti Golkar. Hasilnya gerakan itu lambat laun berkurang bersamaan dengan perjalanan waktu.

Praktik politik uang yang merajalela dalam pemilu legislatif 2004, dikomentari Prof. Dr. Noercholish Madjied, yang menyebut sukses pemilu legislatif 2004 baru sebatas keberhasilan prosedural, pemilu yang demokratis secara prosedural, tanpa diikuti keberhasilan substansial. Hal ini karena siapa yang dipilih dan terpilih belum sepenuhnya pilihan rakyat secara murni sebab ada unsur money politics.
Hal itu terjadi karena praktik politik uang dalam pemilu, masih merupakan cara yang paling efektif untuk mempengaruhi dan merubah pilihan masyarakat miskin. Maka partai-partai politik yang memiliki banyak uang, tetap mengamalkan politik uang dalam pemiilu 2004 bahkan lebih meningkat dan bersifat massif.

Praktik politik uang dalam pemilu 2004, kian terasa massif dan terang-terangan, khususnya partai-partai politik yang mempunyai banyak uang seperti Partai Golkar, PDI-P, maupun partai baru seperti Partai Karya Peduli Bangsa (PKPB) yang mengusung Siti Hardianti Indra Rukmana, putri mantan Presiden Soeharto sebagai calon Presiden. Disamping itu, politik uang dilakukan pula secara individu sebagai calon legislatif dari berbagai partai politik.

Menurut Didik Supriyanto (2004), praktik politik uang dapat dibedakan berdasarkan atas actor dan wilayah operasinya yaitu:

1. Lapisan Atas
Transaksi antara elit ekonomi (pemilik uang) dengan elit politik (pimpinan partai/calon Presiden) yang akan menjadi pengambil kebijakan/keputusan politik pasca pemilu nanti.

2. LapisanTengah
Transaksi antara elit politik (fungsionaris partai) dalam menentukan calon anggota legislatif/ eksekutif dan urutan/pasangan calon.

3. Lapisan Bawah
Transaksi antara elit politik (caleg dan fungsionaris partai tingkat bawah) dengan masyarakat pemilih.

Bentuk praktik politik uang di kalangan atas ialah berupa penggalangan dana perorangan, penggalangan dana perusahaan bukan milik umum, perusahaan negara dan daerah (BUMN/BUMD). Ketentuan pembatasan sumbangan dana kampanye yaitu perseorangan maksimal Rp 100 juta dan perusahaan bukan milik umum maksimal Rp 750 juta; serta larangan memanfaatkan dana dari perusahaan negara dan daerah (BUMN/BUMD) untuk kepentingan kampanye.

Menurut Didik Supriyanto, pembatasan itu tidak efektif sebab:
1) Ketentuan pembatasan dana kampanye mudah diakali;
2) Partai politik, calon anggota DPR/DPD/DPRD dan pasangan calon Presiden dan calon Wakil Presiden tidak dikenai pembatasan;
3) Rekening dan pembukuan dana kampanye tidak bisa diakses, termasuk oleh KPU dan Panwas Pemilu;
4) Prosedur pemeriksaan laporan dana kampanye pemilu legislatif terlalu lama (90 hari), sehingga membuka peluang direkayasa; sedang prosedur pemeriksaan laporan dana kampanye pemilu Presiden terlalu pendek (15 hari), sehingga memaksa dilakukannya rekayasa.

Selain itu, politik uang lapisan tengah dalam bentuk uang tanda jadi calon legislatif (caleg), uang harga nomor urut calon legislatif (caleg), uang pindah daerah pemilihan dan lain-lain; tidak satupun ketentuan peraturan undang-undang pemilihan umum yang memungkinkan untuk menjerat kegiatan tersebut. Semua aktivitas di sini dianggap sebagai masalah internal partai.
Adapun politik uang lapisan bawah, bentuknya berupa pembahagian makanan (sembilan bahan pokok/sembako) melalui bakti sosial, dan melalui ‘serangan fajar’ menjelang pelaksanaan pencoblosan dengan membahagi uang dan sembako ke setiap rumah orang-orang miskin.
Selain itu, pemberian ongkos transport kampanye, kredit ringan, pinjaman uang, uang makan kampanye dan lain-lain.

Kasus politik uang untuk lapisan masyarakat bawah dalam pemilihan umum parlemen dan pemilihan umum Presiden/Wakil Presiden 2004 terjadi di berbagai daerah di seluruh Indonesia. Di Solo terjadi pembahagian uang dan baju kaos kepada para pengayuh bejak dan masyarakat miskin di lima kecamatan dalam kota Surakarta, yaitu Kecamatan Laweyan, Kecamatan Serengan, Kecamatan Pasar Kliwon, Kecamatan Jebres, dan Kecamatan Banjarsari yang mau menghadiri kampanye partai-partai politik di stadium olah raga, dan pada malam menjelang pelaksanaan pemilihan umum.

Di sekitar stasiun kereta api Cikini Jakarta, Syamsu yang sehari-hari sebagai tukang ojek, diajak ikut kampanye Partai Golkar, ia diberi baju kaos kuning bernomor 20, dan mendapat imbalan uang sebesar Rp 25,000. Rekan Syamsu, Dodi lebih beruntung karena mendapat uang Rp 50,000. Di Manado Sulawesi Utara, isteri Walikota Manado, saat kampanye membahagi uang kepada peserta kampanye dengan cara membuat kuis, sehingga yang menghadiri kampanye melimpah. Partai Karya Peduli Bangsa (PKPB), yang mencalonkan Siti Hardiyanti Indra Rukmana, putri mantan Presiden Soeharto, tidak mau ketinggalan dengan Partai Golkar, dalam kampanye di Jalan Raden Saleh, Jakarta Pusat, membahagi bahan makanan yang disebut “sembako” kepada masyarakat sekitar.

Dalam ketentuan administratif menyatakan, bahwa calon anggota legislatif (anggota DPR/DPD/DPRD), pasangan calon Presiden/Wakil Presiden, dan/atau tim kampanye) yang terbukti menjanjikan dan/atau memberi uang atau materi lainnya untuk mempengaruhi pemilih dapat dibatalkan pencalonannya oleh KPU. Sedang ketentuan pidana menyatakan, setiap orang yang dengan sengaja memberi atau menjanjikan uang atau materi lainnya kepada seseorang supaya tidak menggunakan hak pilihnya, atau memilih peserta pemilihan umum tertentu, atau menggunakan hak pilihnya dengan cara tertentu sehingga surat suaranya menjadi tidak sah, diancam pidana 2-12 bulan penjara dan/atau denda Rp 1 – Rp 10 juta.

Untuk memberantas dan mencegah berlanjutnya praktik politik uang di lapisan atas dan menengah, merupakan suatu pekerjaan yang tidak mudah, karena salah satu ciri utama dari demokrasi ialah persaingan bebas ( free fight competition ). Dalam persaingan bebas, faktor yang menentukan kalah menang dalam pemilihan umum, tidak saja kesiapan fisik, mental, ketinggian ilmu, kemahiran bersiasat dan membuat strategi, serta tersedianya kader yang terlatih dan memiliki dedikasi tinggi, tetapi tersedianya dana yang cukup untuk menggerakkan seluruh kekuatan pendukung merupakan “ conditio sine quanon” untuk mewujudkan kemenangan.

Maka walaupun undang-undang pemilihan umum sudah mengatur berbagai hal yang berkaitan dengan penerimaan dana bantuan pemilihan umum, yang dimaksudkan untuk mencegah terjadinya politik uang dalam pelaksanaan pemilihan umum, tetapi sudah menjadi bahagian dari demokrasi bahwa dalam amalan demokrasi selalu disertai praktik politik uang. Demikian juga halnya memberantas dan mencegah praktik politik uang dikalangan masyarakat bawah, tidak mudah karena masyarakat Indonesia pada umumnya, masih sederhana, miskin, kurang pendidikan dan sebagainya. Mereka selalu melihat ke atas kepada para pemimpin formal dan informal.

Kalau kalangan atas dan menengah berlaku baik, jujur, memberi contoh yang baik, mereka dengan mudah mengikuti, begitu pula sebaliknya. Jika dalam pemilihan umum lapisan atas dan menengah, tidak memberi uang dan pangan kepada lapisan bawah, dan membiarkan mereka melaksanakan pilihan politiknya secara bebas dan merdeka berdasarkan nuraninya, maka politik uang di lapisan bawah dengan sendirinya berhenti.

Untuk memasyarakatkan pentingnya melawan politik uang sebagai salah satu bahagian dari praktik penyogokan ( bribary ), dikemukakan beberapa langkah strategis:

1) Sosialisasikan kepada kalangan pemilih terutama lapisan bawah bahwa menerima uang dari lapisan atas dan menengah (elit politik termasuk fungsionaris partai), tidak dibolehkan dan dapat dikenai sanksi pidana;

2) Politik uang diharamkan oleh semua agama, oleh karena itu harus menjadi agenda bersama untuk melawan praktik politik uang;

3) Mengangkat berbagai kasus politik uang ke media massa dan elektronik untuk menambah sanksi moral bagi pelakunya, karena sanksi pidana dalam undang-undang pemilihan umum No. 12 ahun 2003 terlalu ringan. Maka ia tidak efektif untuk memberantas praktik politik uang dalam pemilu.

4) Anggota legislatif hasil pemilihan umum 2004, hendaknya merubah dan menyem-purnakan UU No. 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah supaya lebih sempurna dengan memberi sanksi berat kepada pelaku politik uang.

  • Share:

You Might Also Like

0 komentar