REALITAS praktisi politik dewasa ini –baik muslim ataupun bukan- yang terlihat buruk di publik, kerap kali membuat sebagian umat Islam alergi dengan politik. Memang tidak bisa dipungkiri, kebanyakan politikus dalam meraih kekuasaan terkadang cendrung menghalalkan segala cara. Sewaktu belum mendapat kekuasaan janji manis diumbar, ketika sudah menjadi penguasa ucapannya menjadi hambar, bahkan banyak yang terjerat kasus korupsi.
Namun, sebenarnya yang menjadi persoalan mendasar, politik atau oknum politiknya? Bila oknum politik yang bermasalah, kenapa mesti alergi politik? Kalau umat Islam tidak peduli politik, lantas siapa yang akan memegang kendalinya?
Jika mau berkaca pada sejarah Nabi Muhammad SAW, umat Islam seharusnya tidak alergi politik. Sebagai catatan penting misalnya, bandingkan dakwah nabi antara di Makkah dan Madinah. Selama 13 tahun di Makkah, umat Islam sama sekali tidak berkuasa dan tidak ada peluang untuk itu karena semua kendali kekuasaan berada di tangan orang kafir Qurays.
Sejauh yang bisa dilakukan oleh nabi dan umat Islam pada masa ini adalah dakwah secara verbal (baik terang-terangan maupun sembunyi-sembunyi), sembari tetap sabar dan tidak reaktif. Namun perhatikan apa yang dilakukan orang kafir Qurays dengan kekuasaannya? Ruang nabi dipersempit, dakwah dihalang-halangi, sahabat yang lemah disiksa, Islam didiskreditkan, bahkan menjelang hijrah ada upaya untuk membunuh nabi.
Bandingkan dengan kondisi nabi dan para sahabat saat di Madinah. Meski hanya 10 tahun, tapi mereka memiliki kekuasaan. Adanya piagam Madinah, ekspedisi jihad yang terus bergulir hampir 3 bulan sekali, umrah qadha, korespondensi dengan penguasa internasional pada tahun ketujuh, , delegasi yang dikirim kepada nabi untuk masuk Islam atau perjanjian damai, bahkan jumlah umat Islam yang meledak pada Fath Makkah (Pembebasan Makkah) adalah bukti konkret bagaimana politik, kekuasaan yang dijalankan dengan benar memiliki dampak besar dalam menciptakan perubahan.
Kenyataan tersebut diungkap bukan berarti mengecilkan peran dakwah secara verbal, atau jalur lain selain kekuasaan. Ini diangkat karena betapa ruginya umat Islam bila sampai alergi dengan politik, kekuasaan. Dalam suatu riwayat disebutkan:
ﺍﻟﺴﻠﻄﺎﻥ ﻇﻞ ﺍﻟﻠﻪ ﻓﻲ ﺃﺭﺿﻪ
“Kekuasaan adalah bayang-bayang Allah di bumi.” (Ibnu Atsir, Usud al-Ghâbah, 929) Bahkan, Dzun Nurain, Utsman bin ‘Affan RA pernah berujar:
ﺇﻥ ﺍﻟﻠّﻪ ﻟﻴﺰﻉ ﺑﺎﻟﺴﻠﻄﺎﻥ ﻣﺎ ﻻ ﻳﺰﻉ ﺑﺎﻟﻘﺮﺁﻥ
“Sesungguhnya Allah mencegah dengan kekuasaan apa yang tidak bisa dicegah dengan al-Qur`an.” (Ibnu Katsir, Qashah al-Anbiyâ, 265). Bisa jadi, orang sering mendengar al-Qur`an, mengakui kebenaran nilainya, menganggapnya agung, tapi ia tetap menjalankan kemaksiatan dan kemungkaran. Lain halnya dengan penguasa yang membuat undang-undang untuk melarang kemaksiatan dan kemungkaran, pasti jauh lebih langsung terasa efek jeranya.
Tak berlebihan ketika Imam Malik berkata:
ﻟﻮ ﺃﻥ ﻟﻲّ ﺩﻋﻮﺓً ﻣﺴﺘﺠﺎﺑﺔً ، ﻻﺩَّﺧﺮﺗﻬﺎ ﻷُﻭﻟﻲ ﺍﻷﻣﺮ
“Sekiranya aku memiliki doa mustajab (dikabulkan), maka sungguh akan aku simpan untuk penguasa.” Sebab beliau menyadari betul betapa besar peran penguasa dengan kekuasaannya dalam menciptakan perubahan besar.
Al-Hafidz Ibnu Katsir dalam Qashas al-Anbiyâ (II/265) dalam konteks Daud melawan jalut, ketika menyebut ayat 251 dari Surah al-Baqarah:
ﻭَﻟَﻮْﻟَﺎ ﺩَﻓْﻊُ ﺍﻟﻠَّﻪِ ﺍﻟﻨَّﺎﺱَ ﺑَﻌْﻀَﻬُﻢْ ﺑِﺒَﻌْﺾٍ ﻟَﻔَﺴَﺪَﺕِ ﺍﻟْﺄَﺭْﺽُ
“Seandainya Allah tidak menolak (keganasan) sebahagian umat manusia dengan sebagian yang lain, pasti rusaklah bumi ini,” beliau menafsirkan:
ﻟَﻮْﻟَﺎ ﺇِﻗَﺎﻣَﺔُ ﺍﻟْﻤُﻠُﻮﻙِ ﺣُﻜَّﺎﻣًﺎ ﻋَﻠَﻰ ﺍﻟﻨَّﺎﺱِ ﻟَﺄَﻛَﻞَ ﻗَﻮِﻱُّ ﺍﻟﻨَّﺎﺱِ ﺿَﻌِﻴﻔَﻬُﻢْ
“Seandainya tidak ada kekuasaan yang ditegakkan oleh para penguasa terhadap manusia, maka orang yang kuat akan menghabisi orang yang lemah.”
Dalam Sirah Nabawiyah juga bisa diambil dua contoh. Pertama, Sa’ad bin Mu’adz yang merupakan Kepala Suku Aus ini, setelah masuk Islam berkat dakwah Mush’ab bin Umair, dengan kekuasaan yang dimiliki, mampu mengislamkan 99 % sukunya. Uniknya, mereka tidak merasa terpaksa melakukannya. Kedua, Tsumamah bin Utsal, pernah dengan leluasa berumrah di Makkah, padahal pada waktu itu orang kafir Quraiys yang mengendalikan Makkah. Apa sebab mereka tak berani mengusir atau menyakiti Tsumamah bin Utsal?
Tsumamah tak disakiti karena merupakan penguasa Yamamah. Jika orang Quraiys nekat mengusiknya, sama saja akan mengobarkan api peperangan. Di sisi lain, mereka juga sangat tergantung pada ekspor gandum dari daerah Tsumamah. Jelas saja mereka takut diembargo secara ekonomi. Ternyata benar. Ketika orang-oranga Qurays diembargo Tsumamah, mereka kelabakan, kalang-kabut, terjadi kelaparan besar-besaran di Makkah sehingga pembesar Makkah sampah mengutus delegasi kepada nabi untuk membujuk Tsumamah untuk mengatasi krisis pangan.
Kasus penutupan Alexis baru-baru ini juga sebagai bukti. Bagaimana dengan kekuasaannya mampu menutup tempat maksiat ini dengan tempo yang cepat. Beberapa tahun yang lalu pun Dolly bisa ditutup oleh Risma, juga melalui jalur kekuasaan. Sebuah perubahan besar yang mungkin tidak bisa dilakukan secepatnya oleh ratusan dai dengan hanya berceramah dan nasihat yang baik saja.
Kita pernah mendengar kutipan orang-orang yang mengatakan, “Sudahlah aksi 212 itu adalah politik” atau sindiran-sindiran yang mengatakan, “jauhkan agama dari politik!”.
Ya, memang benar. Berdoa meminta pemimpin yang baik dan bijak juga bisa kategori politik. Bekumpul dan berharap Indonesia damai juga bisa juga kategori berpolitik. Bahkan yang melarang orang berkumpul dan berdoa juga berpolitik. Hatta, yang seharusnya menjaga dan mengamankan warga yang punya hak berkumpul dan menyuarakan pendapatnya, justru lebih berpolitik.
Jadi jika umat Islam berpoliti, so what gitu? Selama aksi umat rapi, santun, menjaga ketertiban dan keamanan, sudah tugas aparat menjaganya karena itu dilindungi hukum.
Sebagai penutup, ungkapan Tokoh Kenamaan Turki, Necmettin Erbakan, bisa dicamkan dengan baik, “Siyaseti önemsemeyen Müslümanları, Müslümanları önemsemeyen siyasetçiler yönetir.” Kurang-lebih artinya demikian: Muslim yang tidak peduli dengan politik, maka akan dipimpin politisi yang tak peduli pada Islam. Wallâhu a’lam .*/ Mahmud Budi Setiawan
0 komentar