Agama dan kekuasaan adalah dua hal saudara kembar. Agama adalah pondasi dan kekuasaan adalah penjaganya. Segala sesuatu yang tidak berpondasi niscaya akan runtuh dan segala sesuatu yang tidak berpenjaga niscaya akan hilang dan lenyap. -Imam Al Ghazali
Politik dan kekuasaan adalah dua sejoli yang tak terpisahkan. Siapa pun yang masuk ke ranah politik pasti memiliki kepentingan untuk merebut kekuasaan. Dan siapapun yang menginginkan kekuasaan harus lebih dulu masuk ke ranah politik.
Namun pemahaman politik era ini terbatas pada aspek kekuasaan dan legislasi semata. Aktivitas politik terbatas pada keinginan untuk meraih sebesar-besarnya peluang untuk menduduki jabatan-jabatan tertentu. Hal ini sejalan dengan pemikiran ahli politik barat, Loewenstein, bahwa “politik is nicht anderes als der kamps um die Macht” (politik tidak lain merupakan perjuangan kekuasaan).
Kecenderungan tersebut lantas mendorong mereka menghalalkan segala cara demi mencapai serta mempertahankan kekuasaan yang dimiliki, sebagaimana diajarkan Machiavelli. Akibatnya, aktivitas politik hanya berfokus pada perebutan kekuasaan semata, bukan mengurusi kepentingan rakyat.
Sementara fungsi politik ditempatkan pada Who Gets What, When, and How sebagaimana yang diajarkan Harold Laswell. Maka tak mengherankan apabila saat ini banyak politikus menjadikan kekuasaan sebagai alat untuk meraih sebanyak-banyaknya keuntungan pribadi, kelompok dan pemilik modal. Muaranya, politik dan kekuasaan dianggap sebagai sesuatu yang kotor, sehingga agama sebagai sesuatu yang suci wajib dihindarkan darinya.
Lantas, haramkah politik dan kekuasaan itu?
Agama dan Kekuasaan
Agama dan kekuasaan adalah saudara kembar, kata Al-Gazhali. Tidak ada agama yang eksis tanpa kekuasaan. Begitupun tidak ada kekuasaan mampu memberikan kesejahteraan bagi umat tanpa landasan agama. Di sinilah politik menjadi jembatan yang menyatukan dua kepentingan tersebut. Politik bertanggung jawab untuk mengatur kepentingan masyarakat agar sesuai dengan prinsip-prinsip moral.
Bagi umat Islam, politik adalah sesuatu yang penting dan mulia. Hal ini apabila kita memahami hakekat politik itu sendiri sebagai upaya untuk memelihara kepentingan umat. Sementara memelihara kepentingan umat adalah kewajiban setiap Muslim, sebagaimana sabda Rasulullah:
“Siapa saja yang tidak memperhatikan kepentingan kaum Muslim, berarti ia bukanlah termasuk di antara mereka. Siapa saja yang tidak berada di waktu pagi dan petang selaku pemberi nasihat bagi Allah dan Rasulnya, bagi kitab-Nya, bagi pemimpinnya, dan bagi umumnya kaum Muslim, berarti ia bukanlah termasuk di antara mereka .” (HR ath-Thabrani)
Adapun aktivitas politik menurut Islam meliputi:
Pertama, kewajiban mengikuti partai politik. Firman Allah dalam surah Ali Imran ayat 104, “Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung”. Dalil tersebut menyiratkan pentingnya kaum muslim untuk bergabung dalam kutlah siyasi (partai politik), yakni sebuah kelompok politik yang bertugas mengemban dakwah Islamiyah ke seluruh penjuru dunia.
Namun perintah “segolongan umat” tersebut sekaligus memberikan penekanan hukum fardu kifayah, yakni menjadi kewajiban seluruh umat Islam sampai ada “segolongan umat” yang mampu melaksanakannya. Serta menjadi dosa bagi seluruh umat Muslim apabila tidak ada yang mau dan mampu melaksanakannya. Alasan ditetapkannya hukum fardu kifayah tersebut lantaran dalam pemenuhan kewajiban, seseorang harus memenuhi sejumlah syarat yang tidak semua orang mampu melaksanakannya, seperti pengetahuan tentang hukum, tingkat kecakapan, dan sebagainya.
Dalam pandangan Imam as-Syathibi, pada dasarnya perintah tersebut wajib dilakukan oleh semua umat Islam. Hanya saja, ada yang mampu melaksanakannya secara langsung dan ada yang tidak. Bagi yang mampu melaksanakan tugas-tugas pemerintahan, maka ia wajib melaksanakannya. Sementara yang tidak mampu, wajib menghadirkan seseorang yang mampu tersebut. Dalam kasus pemilu legislatif, orang yang “mampu” wajib tampil sebagai calon legislatif. Sementara orang yang “tidak mampu” wajib bertindak sebagai pemilih.
Kedua, kewajiban menegakkan amar makruf nahi munkar. Dalam berpolitik, terlebih bagi seorang pemimpin, menegakkan kebajikan dan mencegah kemungkaran adalah sesuatu yang diwajibkan. Sebagaimana sabda Rasul, “ Seseorang yang ditetapkan Allah (dalam kedudukan) mengurus kepentingan umat, dan dia tidak memberikan nasihat kepada mereka (umat), dia tidak akan mencium bau surga ” (HR. Bukhari dari Ma’qil bin Yasar ra).
Ketiga, kewajiban menasehati pemimpin (penguasa). Jika ada kebijakan yang melanggar ketentuan syariat Islam atau ada kebutuhan masyarakat yang luput dari pemerintah, maka wajib hukumnya bagi umat Islam memberikan nasehat.
Dari Abi Umamah, ia berkata: “ Ada seseorang yang datang menghadap kepada Rasulullah, jihad apakah yang paling baik? Beliau mendiamkannya. Ketika beliau melempar jumrah kedua, dia bertanya kembali kepada beliau, namun beliau tetap tidak menjawabnya. Maka pada saat melempar jumrah aqabah, dimana beliau (ketika itu) sudah memasukkan kaki beliau ke atas pelana (kuda) untuk menaikinya, beliau saw bertanya: ‘Mana yang bertanya tadi’ Dia menjawab: ‘Saya, Ya Rasulullah.’ Beliau kemudian bersabda: ‘Adalah kata-kata yang hak (kalimatu haqqin), yang diucapkan di hadapan seorang penguasa yang zalim .” (Ibnu Majah). Dalam hal ini, politik sebagai sarana ibadah harus menjadikan Islam sebagai pandangan hidup dalam mengatur kepentingan masyarakat. Segala aktivitas dilandaskan pada dua sumber utama yang tidak ada keraguan darinya, yakni Alquran dan Sunnah Rasul. Alquran sebagai ajaran yang mengandung nilai-nilai kebenaran, kejujuran, dan keadilan harus mampu direpresentasikan melalui aktivitas politik.
Hal ini sesuai dengan firman Allah:
“… maka putuskanlah (perkara) mereka menurut apa yang Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu …” (Al Maidah: 48)
“… Barangsiapa yang tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang kafir ” (Al Maidah: 44)
Dua ayat tersebut menegaskan bahwa segala keputusan harus (wajib) didasarkan pada ketentuan Allah, yaitu hukum syari’at Islam. Sementara ketetapan hukum syari’at Islam berlaku umum bagi umat Muslim di seluruh dunia. Maka kewajiban memelihara kepentingan umat tidak hanya berlaku di dalam negeri saja, melainkan juga luar negeri.
Di dalam negeri, berpolitik menjadi hal yang sangat penting untuk memastikan kepentingan umat secara umum telah terlaksana dengan baik dan sesuai dengan hukum syara. Maka apabila ditemukan kebijakan-kebijakan yang merugikan masyarakat atau tidak sesuai dengan hukum syara’, wajib hukumnya bagi umat Muslim untuk mengoreksi tindakan penguasa.
Sedangkan politik luar negeri dilakukan karena aktivitas penguasa tidak jauh dari keterlibatan dan kerja samanya dengan negara-negara lain. Maka politik luar negeri bertujuan untuk mengetahui arah aktivitas tersebut sekaligus mengoreksi apabila menimbulkan kemudharatan bagi kepentingan umat atau tidak sesuai dengan hukum syara’. Politik luar negeri juga penting untuk mengetahui strategi tipu daya negara-negara kafir terhadap kaum muslimin, sehingga umat Muslim mampu menghalau taktik tersebut. Terakhir, politik luar negeri sebagai sarana menyebarkan dakwah Islamiyah ke seluruh dunia.
Akan tetapi karena menyangkut tindakan bersama, ajaran-ajaran Islam tersebut harus mendapatkan persetujuan dari masyarakat luas yang memiliki ideologi dan cara pandang yang berbeda-beda. Yaitu dengan menerjemahkan ajaran-ajaran Islam ke dalam nilai-nilai.
Nilai-nilai inilah yang digunakan politikus dalam menyebarkan dakwah Islamiyah. Mereka menggunakan nilai-nilai sebagai alat untuk mempengaruhi cara pandang masyarakat sehingga mendorong kepada tindakan bersama. Maka dapat disimpulkan bahwa strategi politik Islam mengacu pada aktivitas dakwah melalui ajakan, bukan tipu daya maupun kekerasan.
Kaitannya dengan hal ini, Drs. Fauzi Abubakar, M.Kom.I (Serambi Indonesia), menetapkan nilai-nilai dasar kehidupan politik dalam Islam meliputi:
Pertama, prinsip musyawarah. Sebagaimana firman Allah, “.. dan bermusyawarahlah mereka dalam urusan itu …” (QS. Ali Imran: 159).
Kedua, prinsip persamaan. Islam tidak mengajarkan umatnya untuk bertindak diskriminatif atas dasar perbedaan suku bangsa, status sosial, tingkat ekonomi dan hal-hal keduniawian lainnya. Sebagaimana firmanNya: “ Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu …” (QS. Al-Hujarat: 13).
Ketiga, prinsip keadilan. Islam mengajarkan umatnya untuk berlaku adil, terutama bagi para pemimpin dalam menetapkan suatu kebijakan/hukum bagi masyarakat.
Firman-Nya: “ Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap suatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al-Maidah: 8).
Keempat, prinsip kebebasan. Kebebasan yang dimaksud di sini adalah kebebasan yang dapat dipertanggung jawabkan dihadapan Allah dan Rasul-Nya. Allah berfirman: “Dan tidaklah seseorang membuat dosa melainkan kemudharatannya kembali kepada dirinya sendiri, dan seseorang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain .” (QS. Al-An’am: 164).
Namun semua hanya mungkin dilakukan apabila umat Muslim memiliki rasa simpatik terhadap politik, bukan malah sebaliknya. Bersikap apatis dan menghindar dengan dalih aktivitas politik sebagai “barang kotor” yang diharamkan. Padahal dengan semua penjelasan di atas, teranglah bahwa berpolitik adalah sesuatu yang dihalalkan, bahkan diwajibkan karena memiliki pengaruh besar dalam mempertahankan dan menyebarkan ajaran Islam di seluruh dunia.
Apalagi Allah telah menetapkan kaum muslimin sebagai umat terbaik yang menuntun umat lain kepada yang makruf dan mencegah dari yang munkar (QS Ali Imran: 110). Mengurung diri dalam sangkar emas ritual, menghindar dari dinamika sosial, dan membiarkan musuh berpolitik dengan mengabaikan peran sosial politik adalah cara paling strategis untuk meruntuhkan umat Islam sendiri. Berpolitik menjadi satu-satunya jalan bagi umat Islam bangkit dari keterpurukannya.
Bukankah kita mengimani bahwa Islam adalah ajaran yang sempurna. Islam mengatur segala hal yang menyangkut kepentingan manusia hingga hal-hal yang terkecil dan kasat mata sekalipun. Dengan memisahkan agama dari politik, tidakkah kita mencederai iman kita sendiri? Menghakimi Islam sebagai agama yang tidak sempurna?
0 komentar