Waspada Politik Uang Dalam Pemilihan Ketua Umum Partai

By Abi Zahidah - Maret 24, 2018


Oleh: Musni Umar, Ph.d

Money politic (politik uang) dalam pemilihan ketua partai politik merupakan judul yang saya tulis dalam buku “Korupsi di Era Demokrasi”. Money politic merupakan bagian dari praktik korupsi, sehingga untuk lebih menarik pembaca, saya rubah judulnya dalam tulisan ini seperti ditulis diatas.

Praktik demokrasi dalam pemilihan ketua umum partai politik telah berkembang dinamis di era Orde Reformasi. Di masa Orde Baru, pemilihan ketua umum partai politik selalu dicampuri oleh penguasa politik, sehingga tidak berjalan demokratis tetapi tidak perlu melakukan politik uang (money politic) seperti sekarang. Dalam Orde Reformasi, ketua umum partai politik dipilih langsung oleh peserta Musyawarah Nasional (Munas) atau peserta Muktamar (muktamirin), yang terdiri dari utusan cabang, provinsi/wilayah dan pusat.

Berdasarkan kebiasaan dalam pemilihan ketua umum partai politik, yang dominan menentukan terpilih tidaknya seorang calon, ditentukan oleh dua faktor yaitu faktor kedekatan (hubungan) baik dengan pengurus cabang dan wilayah, serta faktor uang. Seorang calon ketua umum partai politik, walaupun memiliki banyak keunggulan seperti dikemukakan di atas, namun belum cukup. Oleh karena demokrasi yang kita amalkan adalah berdasarkan ”one man one vote”, maka sokongan suara dari pimpinan cabang partai politik dan wilayah di seluruh Indonesia merupakan kunci untuk meraih kemenangan.

Untuk memperoleh sokongan suara yang luas dari seluruh daerah di Indonesia, tidak cukup dengan kriteria hubungan baik, kepopuleran seorang calon, kedudukan tinggi seorang calon, dan sejumlah keunggulan yang dimiliki. Faktor yang dominan sekarang ini ialah sokongan dana. Siapa yang memenuhi kriteria yang disebutkan di atas, kemudian disokong oleh dana yang cukup, maka ia memiliki peluang yang besar untuk meraih kemenangan dalam pemilihan ketua umum partai politik.

Contoh pemilihan ketua umum partai politik yang banyak menarik perhatian masyarakat luas ialah pemilihan ketua umum partai Golkar dalam Musyawarah Nasional (Munas) Partai Golkar di Nusa Dua Bali, akhir Desember 2004. Di luar hotel tempat dilaksanakan acara itu, di pasang spanduk besar yang bertulis “Uang bisa membeli segala-galanya kecuali hati nurani”.17 Pesan serupa diselipkan dibawah pintu hotel tempat menginap para peserta Munas, dan pamflet semacam itu juga disebar di areal Bali Convention Center, lokasi forum tertinggi partai itu digelar, tanpa tercantum nama atau alamat sang pemberi pesan.
Pesan itu jelas ditujukan kepada peserta Munas Partai Golkar, karena menjelang pemilihan ketua umum Partai Golkar, ramai dibicarakan besarnya “gizi” (uang) yang dibagikan para calon ketua umum kepada peserta Munas yang berasal dari berbagai daerah seluruh Indonesia.

Praktik politik uang dalam pemilihan ketua umum Golkar di era Orde Baru tidak pernah terjadi, karena walaupun secara resmi ketua umum Golkar dipilih dalam forum Musyawarah Nasional, tetapi hakikatnya ketua umum sudah ditetapkan sebelum dilaksanakan Munas, karena Presiden Soeharto sebagai Ketua Dewan Pembina Golkar sudah menunjuk seorang calon ketua umum yang akan dipilih dalam Munas Golkar berdasarkan konsep “musyawaah mufakat”, sehingga tidak pernah terjadi politik uang dalam setiap pemilihan ketua umum Golkar.

Politik Uang dalam Memilih Ketua Umum Partai

Politik uang ramai diamalkan oleh Partai Golkar dan partai-partai lain, bermula di era reformasi di mana setiap calon berkompetisi untuk mendapat sokongan suara dari seluruh delegasi yang menjadi peserta dan memiliki hak pilih untuk memilih ketua umum. Kejadian ini tidak saja berlaku di tingkat nasional, tetapi juga di provinsi, kabupaten dan kota.

Adanya perubahan UU No. 22 Tahun 1999 menjadi UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, di mana calon Gubernur/Wakil Gubernur, calon Bupati/Wakil Bupati, dan calon Walikota/Wakil Walikota diusulkan pencalonannya oleh partai politik atau gabungan partai-partai politik, maka mereka yang baru memegang jabatan satu periode dan berminat mencalonkan pada periode kedua, atau dari kalangan pengusaha yang berkeinginan menjadi calon kepala daerah berusaha merebut ketua partai di setiap peringkat dengan segala cara termasuk melakukan politik uang. Hal itu dilakukan untuk memuluskan dirinya menjadi calon kepala daerah.

Perlu Sistem Untuk Mencegah Politik Uang

Akil Mochtar (2004), Ketua Angkatan Muda Partai Golkar (AMPG), mengaku punya bukti, bahwa deklarasi pencalonan satu paket calon ketua umum partai Golkar dalam Munas Partai Golkar di Bali 2004 yang mengklaim didukung puluhan pengurus daerah tingkat provinsi, telah menyalurkan uang kepada para peserta yang memiliki hak pilih dalam berbagai pertemuan yang digelar. Akil Mochtar mendengar, jumlahnya mencapai ratusan juta rupiah. Hanya, ia enggan menyebut siapa yang dimaksud.

Indra Bambang Utoyo, mantan ketua Forum Komunikasi Putra-Putri Purnawirawan TNI (FKPPI) mengaku punya kisah menarik. Suatu ketika, pengurus partai Golkar di tingkat kabupaten di Jawa Tengah mengontaknya meminta untuk ketemu. Mereka mengeluh jumlah uang “saweran” yang diterima dari salah satu calon tidak sesuai banderol (commitment), karena hanya menerima uang sebesar Rp 20 juta.

Tak percaya sang penghubung, kemudian pengurus ini langsung mengusut, dan ternyata para pengurus Golkar provinsi mendapat uang bahagian yang lebih yahud Rp 500 juta. Uang yang diterima pengurus kabupaten sebesar Rp 20 juta, hanya sekadar uang ganti rugi atas tak dipakainya hak suara DPD II dalam pemilihan ketua umum Partai Golkar, tetapi kemudian peraturan itu dirubah, sehingga hak memilih juga diberi kepada tiap Dewan Pimpinan Daerah Kabupaten/Kota.

Partai politik yang suka melakukan politik uang

Di kalangan pimpinan partai politik di setiap jenjang kepengurusan, sudah terbangun budaya politik uang yaitu siapa yang ingin menang dalam pemilihan ketua umum partai politik, mesti mengeluarkan uang yang besar. Tidak ada kemenangan secara gratis (cuma-cuma). Walaupun permainan uang dalam pemilihan ketua umum partai politik sukar dibuktikan secara hukum, tetapi semua merasa bahwa dibalik kemenangan yang diraih, terdapat dugaan kuat adanya permainan uang.

Praktik sogok-menyolok dalam pemilihan ketua umum partai politik, tak obahnya angin, kita merasa ia ada tetapi tidak dapat dilihat dan dibuktikan. Dalam UU Anti Korupsi misalnya, untuk membuktikan terjadinya suatu perbuatan tindak pidana korupsi, maka harus ada alat bukti seperti saksi yang menyaksikan terjadinya tindak pidana dan alat bukti secara tertulis

Asas Praduga Bersalah

Maka walaupun korupsi dilarang dan setiap pelakunya diancam dengan hukuman yang berat, tetapi tetap saja banyak golongan elit yang mengamalkan korupsi karena transaksi dalam sogok-menyogok sangat sulit dibuktikan kecuali cara pembuktiannya dilakukan dengan menggunakan asas pembuktian terbalik yaitu ”praduga bersalah”, di mana setiap orang dapat dikatakan bersalah melakukan korupsi, kecuali ia dapat membuktikan sebaliknya dengan alat-alat bukti yang otentik bahwa harta kekayaannya adalah sah dari gaji dan hasil pendapatan lainnya.
Dalam era reformasi, perbuatan sogok-menyogok dalam pemilihan ketua umum partai politik sangat sulit menyetopnya. Akibatnya, dalam praktik demokrasi di era reformasi, hampir tidak ada ketua umum yang dipilih dalam musyawarah nasional (munas) ataupun muktamar partai politik, yang tidak menggunakan politik uang (money politics).

Politik uang dalam pemilihan ketua umum partai politik, berlaku dan diamalkan di seluruh jenjang kepengurusan, yaitu dari tingkat cabang (kabupaten/kota), wilayah (provinsi) sampai di tingkat pusat. Itu sebabnya, praktik korupsi ramai diamalkan karena semua kedudukan publik yang diraih selalu disertai dengan politik uang. Maka tidak mengherankan sesudah terpilih menjadi pemimpin partai politik, yang dipikirkan adalah bagaimana mendapatkan uang. Tidak saja untuk mengganti uang yang dikeluarkan, tetapi untuk mempersiapkan diri menghadapi pemilihan umum (pemilu) yang memerlukan uang banyak.

Politik uang dalam pemilihan ketua umum partai politik, tidak ada bedanya antara partai politik Islam dan partai politik sekuler. Di duga semua partai politik mengamalkan politik uang, kecuali Partai Keadilan Sejahtera (PKS) karena sistem yang dipergunakan dalam pemilihan ketua umum (Presiden) partai menggunakan sistem Ahlul halli wal aqdi. Hal itu dapat dieliminir terjadinya politik uang karena sistem yang diamalkan tidak menggunakan sistem demokrasi Barat.

Sistem yang diamalkan adalah mengacu kepada tradisi Islam yang dikenal dengan istilah ”Ahlul halli wal aqdi”, yang disebut ”Majelis Syura”, di mana para anggotanya yang memilih pemimpin disetiap jenjang kepengurusan partai adalah mereka yang memiliki kredibilitas tinggi dari kalangan pakar, ulama dan mantan pengurus partai.

Selain itu, PDIP tidak menggunakan politik uang dalam memilih ketua umumnya karena calonnya hanya Ibu Megawati Sukarno Putri.

  • Share:

You Might Also Like

0 komentar