Jika Anda menipu diri di dalam keremangan fajar, Anda akan ketahuan di bawah sorotan lampu. Demikian sang pembelajar mantan Predisen Amerika Serikat Theodore Roosevelt menyoroti perilaku politisi yang tidak konsisten membangun kerakter kepemimpinannya.
Pesan yang ingin disampaikan adalah “Siapa menabur benih unggul di lahan subur niscaya memanen hasil gemilang, kecuali mengabaikan gulma dan hama. Yang lainnya, hanya menuai debu! Pasca reformasi kita berharap demokrasi akan melahirkan manusia pembelajar untuk menjadi pemimpin besar di negeri besar ini, tetapi faktanya yang muncul kepermukaan hanya pemimpin dan legislator yang mementingkan diri dan kelompok partainya, sehingga tidak jarang hidupnya akan berakhir sebagai tokoh kartun.
Mungkin sepakat kalau dikatakan negeri besar ini telah mengalami devisit kepemimpinan, tetapi disisi lain sedang terjadi inflasi politisi. Dikatakan devisit kepemimpinan karena pasca reformasi sangat sulit menemukan pemimpin tangguh untuk memproteksi negari ini dari serbuang manusia serigala kapitalis yang ingin merampok kekayaan alam Indonesia. Tidak ditemukan pemimpin yang amanah dalam mendistribusikan keadilan dan kesejahteraan merata keseluruh warga bangsa.
Dikatakan terjadi inflasi politisi karena dihadapkan suatu kondisi dimana jumlah kuantitas politisi jauh lebih banyak dari kebutuhan, sementara secara kualitas tidak dirasakan langsung oleh rakyat. Jelang pemilu biasanya bermunculan ribuan politisi instant yang tidak memiliki kualitas menyerbu pasar demokrasi Indonesia.
Kaitannya dengan inflasi politisi, terlebih sekarang musim pendaftaran dan seleksi caleg di partai politik dalam menghadapi pemilu legislatif 2019, Sipil Institut (Studi Investasi Politik Indonesia) mencatat ada lima kesalahan mendasar caleg yang perlu dibenahi kalau tidak mau menjadi pecundang dalam pemilu 2019.
1. Tidak mau belajar
John C. Maxwell dalam bukunya “The 21 Irrefutable Laws of Leadership” yang meneliti hampir seluruh pemimpin besar pembuat sejarah dunia mengatakan “Untuk menjadi pemimpin besok belajarlah hari ini”. Salah satu kesalahan mendasar caleg adalah tidak mau belajar. Merasa dirinya serba bisa mengatasi semua persoalan di lapangan, sehingga tidak perlu melibatkan orang lain diluar partainya untuk sharing dan belajar merumuskan strategi pemenangan politik.
Caleg malas megikuti pelatihan atau pembekalan politik yang ditawarkan oleh beberapa lembaga yang ahli dibidangnya, seperti pelatihan investasi politik, pemasaran politik, dan public speaking. Sementara partai politik yang sejatinya melakukan pendidikan politik kepada kadernya juga tidak bisa diharapkan, karena partai politik mandul menjalankan empat fungsi utamanya yaitu pendidikan politik, rekruitmen politik, komunikasi politik, dan sosialisasi politik.
2. Mengabaikan hukum proses
Karena tidak mau belajar maka sudah pasti mengabaikan “hukum proses” yang menekankan “Tidak ada kemenangan dalam sehari, begitu pula tidak kesuksesan dalam semalam”. Hukum proses ini menganalogikan politik dengan bertinju yang mengatakan “kemenangan seorang petinju tidak ditentukan di atas ring, tetapi ditentukan oleh konsistensinya berlatih hari demi hari di luar ring”. Jika ingin melihat dimana seseorang berkembang menjadi juara, lihatlah rutinitasnya sehari-hari.
Kalau analogi bertinju dalam politik ini dipakai untuk melihat elektabiltas caleg, maka dapat dikatakan bahwa kemenangan caleg pada pemilu tidak ditentukan pada saat musim kampanye, tetapi ditentukan oleh konsistensinya dari sekarang menjadi aktor sosial yang terlibat langsung mendesain gerakan-gerakan sosial kemasyarakatan. Mimpi menjadi politisi yang handal dan diterima pasar dalam tiga bulan.
3. Tidak mengenal kerakter pemilih
Sebelum melempar produk ke pasar maka terlebih dahulu pahami keingin pasar. Jangan menjual produk kalau pasar tidak membutuhkan karena pasti mengalami kerugian. Dalam konteks pemilu, sebelum menjadi caleg pahami dulu keinginan pemilih membutuhkan caleg seperti apa.
Pengenalan kerakter pemilih ini sangat penting, karena pemilih tanpa kita sadari mengalami proses pencerdasan politik secara alami. Kalau pada pemilu 2014 para politisi masih bisa menukar suara rakyat dengan sekantong sembako dan segardus indomie, pada pamilu 2019 belum tentu itu berlaku. Pemilih 2014 masih didominasi pemilih pragmatis, siapa yang memberinya uang itu yang dipilih. Sementara pemilih 2019 sudah menjadi pemilih kalkukaltif, pemilih cerdas yang mampu mengkalkulasi untung ruginya memilih politisi atau partai politik.
4. Mengangggap bodoh rakyat
Kenapa politisi tidak mau belajar, mengabaikan hukum proses, dan tidak mau memahami kerakter pemilih? Karena politisi selalu menganggap bodoh rakyat. Sedemikian teganya politisi yang tidak pernah mau berhenti membodohi rakyat dengan menghargai satu suara rakyat dengan sekantong sembako.
Masih menganggap rakyat bodoh untuk dibohongi dengan segala macam janji-janji politik, sama saja halnya caleg gali kuburan sendiri. Karena dengan pemilih cerdas yang kalkukatif, rakyat akan menggotong ramai-rami politisi yang selama ini membodohinya masuk ke dalam kuburan. Rakyat sudah jenuh dibodohi, sudah lelah dibohongi, dan sudah capek dijanji. Pemilu 2019 adalah saatnya mengubur politisi yang hanya pura-pura baik kepada rakyat ketika musim kampanye.
5. Tidak mau investasi politik
Menjadi politisi dan pemimpin yang handal adalah seperti berinvestasi di pasar saham yang akan terus berakumulasi. Bahasa lebih sederhananya orang menabung uang di bank akan berbunga uang, orang yang menabung suara di bank hati rakyat akan berbunga suara di saat pemilu. Caleg yang sudah konsisten berinvestasi politik setahun terakhir ini bisa mendapatkan keuntungan ganda, yaitu bisa meminimalkan biaya politik dan memiliki tabungan suara memasuki pemilu 2019.
Hanya saja eskalasi pasar demokrasi Indonesia yang lebih mengakomodasi metode investasi politik tidak digubris oleh politisi yang sudah terlena mengandalkan metode pemasaran politik. Akibatnya tidak sedikit modal harus dikeluarkan untuk melakukan pencitraan dengan membeli ruang-ruang publik untuk pemasangan baliho, spanduk dan atribut kampanye lainnya, belum membayar iklan di media cetak dan elektronik.
Terakhir kepada caleg 2019, masih ada waktu yang tersisa untuk belajar dan mematuhi hukum proses. Segera melakukan investasi politik untuk bisa memahami kerakter pemilih 2019, dan terpenting berhentilah menganggap bodoh rakyat kalau tidak mau menjadi pecundang dalam pemilu 2019.
Sumber: www.sipil-institut.com
Sumber: www.sipil-institut.com
0 komentar